REFLEKSI ISRA MI’RAJ: MEMBANGUN ETIKA SOSIAL DENGAN SPIRITUAL

Dalam kalender hijriyah, bulan rajab adalah salah satu diantara bulan yang diistimewakan dalam ajaran Islam. Ada 4 (empat) bulan yang diistimewakan dengan istilah atau sebutan asyhurul hurum, yakni; Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharrram, dan Rajab. Pada bulan rajab mempunyai keistimewaan, bukan saja karena mempunyai pertalian kesejarahan dengan Nabi Muhammad SAW, namun lebih dari itu menyangkut spiritualitas yang dalam dan hanya terjadi pada diri Nabi Muhammad SAW. Sisi inilah yang tidak dapat dianalisis secara empirical formal sebagaimana dalam kajian sosial, yang sepenuhnya didukung oleh data empiris formal. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang terjadi dalam bulan rajab adalah peristiwa monumental yang sarat nilai-nilai spiritual yang sepenuhnya tidak membutuhkan dukungan data empirical formal, meskipun berimplikasi pada sangat sulit diterima secara akal sehat oleh manusia di jaman itu, bahkan hingga saat ini. Peristiwa ini membutuhkan keyakinan akan kekuasaan Allah SWT dan kebenaran Islam, karena memang wilayah keimanan.

Merujuk pada Q.S Al-Isra’: 1 yang dalam pernyataan ayat tersebut diawali dengan kalimat tasybih, sebagai bentuk penegasan akan peristiwa yang luar biasa yang diluar batas logika manusia. Dari penegasan ayat di atas, Abu al-Hasan an-Nadawy, mengatakan; Isra’ bukan saja kejadian luar biasa yang dialami oleh Muhammad SAW yang memberi gambaran tentang sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, yang dapat menembus cakrawala langit dan bumi dengan mata kepala, namun lebih dari itu mencakup perjalanan kenabian yang ghaib ke dimensi yang sangat halus dan mendalam serta dipenuhi berbagai hikmah, dan diantara hikmahnya adalah memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah. Disamping itu hikmah lain adalah Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dua Qiblat, Imam di Timur dan di Barat, dan pewaris nabi sebelumnya, serta pemimpin generasi sesudahnya.[1]

Peristiwa agung ini menjadi momen bagi kalangan ummat Islam untuk merefleksikan secara spiritual dalam penguatan keberagamaannya. Islam sebagai agama yang diyakini kebenarannya, maka ummat Islam juga wajib meyakini kebenaran peristiwa Isra’ Dan Mi’raj. mengingkari kebenaran Isra’dan Mi’raj adalah bentuk kekufuran atas kebenaran Islam. Sebagaimana yang ditegaskan Anas bin Malik dalam kitab Syarah Muwatha’ Lil Imam Malik;

“Siapa saja yang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. benar melakukan peristiwa ini maka sempurnalah imannya maka begitulah sebaliknya”.[2] Implikasi dari pengingkaran atas kebenaran Isra’ Dan Mi’raj ini adalah pengingkaran shalat. Sebagaimana dimaklumi bersama peristiwa Isra’ Dan Mi’raj sebagai peristiwa yang pertaliannya dengan asal muasal dari perintah shalat. Maka sangat logis jika pengingkaran Isra’ Dan Mi’raj adalah pengingkaran terhadap Islam. Meskipun demikian diantara sebagian Ulama’ berpandangan isra’ dan mi’raj tidaklah kesatuan yang diyakini. Yang harus diyakini adalah peristiwa Isra’nya saja.

Dalam berbagai kajian literasi klasik serta periwayatan seperti yang ditulis oleh Imam Muslim bin Hajjaj dalam kitabnya Sahih Muslim, dan juga Imam Bukhari dalam kitabnya Sahih Bukhari yang menyatakan bahwa kalimat Mi’raj masih mengandung polemik dan perselisihan dikalangan para Ulama tentang kebenarannya, namun pada sisi Isra’ merupakan kesepakatan yang harus diyakini kebenarannya. Oleh sebab itu mengingkari Isra’ hukumnya kafir karena Isra’ disebutkan secara jelas dalam nash al-Qur’an. Adanya polemik tentang kebenaran Mi’raj bermuara pada ‘Aisyah RA istri Nabi Muhammad SAW. yang memiliki sikap pengingkaran terjadinya Mi’raj pada Nabi sehingga yang ada hanya Isra’ nya saja. Keyakinan Aisyah, bahwa Nabi hanya mengalami Isra saja ini, tidak diterima oleh jumhur ulama salaf dan khalaf. Para Ulama seluruh dari berbagai penjuru dunia meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW. selain mengalami Isra’ juga mengalami Mi’raj. Dari adanya dua kutub yang keyakinan berbeda ini implikasinya adalah adanya dua keyakinan, jika diantara kalangan umat Islam yang meyakini terjadinya Isra’ namun tidak meyakini peristiwa Mi’raj maka pandangan ini bermuara pada keyakinan ‘Aisyah, dan bila ada umat Islam meyakini benar terjadinya peristiwa Isra’ dan Mi’raj maka hal ini sudah berkesusaian dengan pandangan mayoritas ulama seluruh dunia dari zaman ke zaman.[3]

Selanjutnya Imam Muslim meriwayatkan; bahwa murid ‘Aisyah yang bernama Masruq, mengatakan; “Saat Aisyah mengatakan bahwa siapa saja yang meyakini bahwa Nabi Muhammad melihat dan bertemu dengan Allah sungguh dia telah melakukan dusta besar”. Disaat muridnya ini memberikan argumentasi dengan menyebutkan firman Allah dalam al-Qur’an. ‘Aisyah menjawab; “bahwa aku adalah orang yang paling dekat dan sering bertanya kepada Nabi akan setiap perkara yang terjadi”.[4]

Sikap ‘Aisyah ini dalam pandangan sebagian Ulama merupakan bentuk penjagaan konstitusi dalam beragama. Sebab dalam ilmu tauhid yang diyakini oleh ahli sunnah wal jama’ah bahwa Allah SWT. berwujud, namun bila ada orang meyakini wujud seperti yang ada dalam pikiran manusia, maka sungguh Allah sama sekali tidak seperti yang ada dalam pikiran makhluk. Demikian juga saat peristiwa Mi’raj dijelaskan bahwa ada ‘arsy, ada kursi dan Allah berbicara dengan Nabi sungguh peristiwa ini tidak akan sama seperti apa yang ada dalam benak dan lisan manusia sebab Allahtidak menyerupai makhluk baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit, Laisa kamitslih syai’ fi al-ardh wa la fi al-sama’[5]

Terlepas perbedaan di atas, Isra’ dan Mi’raj pertaliannya dengan perintah shalat. Shalat adalah bentuk penghambaan manusia terhadap Tuhannya. Bahkan shalat menjadi mi’raj-nya orang-orang beriman. Maka sesungguhnya shalat yang baik akan membangun kesadaran jati dirinya sebagai hamba Allah. Shalat juga menjadi sarana dalam membentuk karakter dan etika manusia yang independen dalam mewujudkan sikap saling menghormati dan menghargai terhadap sesamanya. Dari kesadaran jati dirinya sebagai hamba Allah terbangun kesadaran akan mencegah dirinya dari perbuatan-perbuatan kotor dan destruktif. Sebagai hamba Allah akan memandang sesamanya sebagai ciptaan Allah, yang jika tidak menghormati dan menghargai sama dengan tidak menghormati dan menghargai sang Pencipta-Nya. Kesadaran nilai-nilai humanis seperti ini dibangun dari dimensi spiritual melalui pelaksanaan shalat yang baik dengan penuh kekhusyu’an.

Penerimaan shalat oleh Rasulullah SAW untuk menegakkan shalat, pada dasarnya merupakan suatu simbolisme yang mengajarkan prinsip pola hubungan antara hamba (manusia) kepada Tuhannya, antara manusia dengan sesamanya, dan juga manusia dengan lingkungannya.[6] Dalam ajaran shalat, seseorang yang hendak melaksanakannya, diwajibkan terlebih dahulu berwudlu atau dalam keadaan suci. Berwudlu dengan menggunakan air merupakan simbolisme interaksi manusia dengan alam. Air merupakan kebutuhan pokok manusia agar dijaga dari pencemaran sebagai simbol dari kesucian.

Dalam shalat ada dua dimensi yang harus ditegakkan, pertama dimensi vertikal dengan pengagungan Allah SWT yang dimulai dengan takbiratul ihram. Kedua, dimensi horizontal adalah mewujudkan kedamaian, sikap kasih sayang terhadap sesama yang secara simbolis diwujudkan dengan salam dengan menoleh kekanan dan kekiri. Makna simbolis dalam shalat menyatu dalam diri hamba Allah dalam menebar kesucian dan kedamaian di muka bumi.

[1] Dikutib oleh Dedisyah Putra dan Asrul Hamid Tajdid, Vol. 20 . No. 02 Juli – Desember 2021

[2] Ibid, Tajdid, Vol. 20 . No. 02 Juli – Desember 2021

[3] Ibid, Tajdid, Vol. 20 . No. 02 Juli – Desember 2021

[4] Ibid, Tajdid, Vol. 20 . No. 02 Juli – Desember 2021

[5] Ibid, Tajdid, Vol. 20 . No. 02 Juli – Desember 2021

[6] https://kemenag.go.id/read/membumikan-makna-isra-mi-raj-v3v7v